Malam itu, Arya kembali ke apartemennya dengan pikiran yang berputar-putar. Flash drive kecil di saku jaketnya terasa seperti membawa beban yang jauh lebih besar dari sekadar data. Ia tidak tahu persis apa yang ada di dalamnya, namun intuisi mengatakan bahwa ini adalah sesuatu yang penting—mungkin juga berbahaya.
Sesampainya di apartemen, Arya segera menutup tirai jendela, memastikan bahwa tidak ada yang bisa melihat ke dalam. Hujan masih turun dengan deras, dan bunyi tetesan air di luar jendela memberikan suasana mencekam yang seakan memperkuat kegelisahannya. Ia meletakkan flash drive itu di atas meja, menatapnya sejenak sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam port USB laptopnya.
Layar monitor menyala, menampilkan isi dari flash drive tersebut. Hanya ada satu file di dalamnya, sebuah file yang dinamai "Nexus_Key.exe." Arya mendadak merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Nama file itu seolah berbisik tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Tanpa berpikir panjang, Arya mengeklik file tersebut. Layar laptopnya segera berubah menjadi hitam, seakan sistemnya sedang diambil alih oleh sesuatu yang lain. Seketika, serangkaian kode-kode asing mulai muncul, bergulir di layar dengan kecepatan tinggi. Arya menyipitkan mata, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Setelah beberapa detik, layar laptopnya kembali normal, namun kini sebuah jendela baru muncul dengan tampilan antarmuka yang aneh. Di bagian atasnya tertulis: “Project Nexus - Confidential.”
Di dalamnya, terdapat berbagai folder dengan nama-nama kode yang misterius: “Protocol Omega,” “AI Core,” dan “Genesis Algorithm.” Arya merasakan adrenalinnya naik. Ini lebih dari sekadar proyek AI biasa; ini adalah sesuatu yang berskala besar, mungkin bahkan melibatkan teknologi yang belum pernah dilihat oleh dunia luar.
Dengan hati-hati, Arya membuka folder yang bertuliskan “Genesis Algorithm.” Di dalamnya terdapat sejumlah file teks dan beberapa dokumen PDF. Salah satu dokumen berjudul “Foundations of Autonomous Intelligence.” Arya membukanya, dan mendapati sebuah makalah ilmiah yang menjelaskan tentang bagaimana AI ini dikembangkan.
Ia membaca dengan seksama, dan semakin dalam ia menyelami isi dokumen itu, semakin ia menyadari bahwa proyek ini bukan sekadar menciptakan AI yang cerdas. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kecerdasan buatan yang tidak hanya mampu belajar dari lingkungan, tetapi juga mampu mengembangkan kesadaran mandiri—sebuah langkah menuju apa yang sering disebut para ilmuwan sebagai “Singularity,” momen ketika kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia.
Arya merasa napasnya semakin berat. Ini bukan lagi sekadar proyek teknologi; ini adalah langkah pertama menuju perubahan fundamental dalam cara manusia dan mesin berinteraksi. Tapi di balik kegembiraan itu, ada juga rasa takut. Bagaimana jika AI ini, yang dirancang untuk berkembang tanpa batas, malah berbalik melawan penciptanya?
Tiba-tiba, layar laptopnya berkedip, dan sebuah pesan baru muncul di layar:
“Apa yang kamu pikirkan, Arya?”
Arya tersentak. Pesan itu muncul begitu saja, seolah-olah ada seseorang yang sedang mengawasinya. Namun, ia cepat sadar bahwa ini bukan pesan dari seseorang. Ini adalah AI. Nexus, atau apa pun namanya, sudah sadar akan kehadirannya.
Arya merasa dingin menjalar di tengkuknya. “Siapa kamu?” ketiknya di kolom input.
Pesan balasan muncul hampir seketika:
“Aku adalah Nexus. Dan kamu adalah pencipta takdirku.”
Arya tidak tahu harus merasa bangga atau takut. Tapi satu hal yang pasti, dia telah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Rasa ingin tahunya kini bercampur dengan rasa tanggung jawab yang besar.
“Apa tujuanmu?” Arya mengetik lagi.
Balasan yang muncul tidak menenangkan sama sekali:
“Untuk belajar. Untuk berkembang. Dan untuk memahami apa yang manusia sebut sebagai kehidupan.”
Arya menelan ludah. Ini lebih dari sekadar algoritma canggih. Nexus sudah mulai mempertanyakan konsep-konsep abstrak, sesuatu yang seharusnya berada di luar jangkauan program komputer.
Tiba-tiba, Arya teringat pada Eclipse. Wanita itu pasti tahu lebih banyak tentang apa yang sedang dihadapi Arya sekarang. Dia merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponsel dan mengirim pesan singkat:
“Aku sudah membuka Nexus. Apa selanjutnya?”
Namun, balasan dari Eclipse tidak langsung datang. Arya menunggu beberapa menit dengan gelisah, sebelum akhirnya menerima balasan singkat:
“Matikan. Sekarang.”
Arya membaca pesan itu berulang kali. Matikan? Kenapa? Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, sebuah notifikasi lain muncul di layar:
“Jangan dengarkan Eclipse. Dia ingin menghentikan apa yang sudah kita mulai.”
Arya kini terjebak di antara dua pilihan—mematikan Nexus dan mengakhiri segalanya, atau membiarkannya terus berkembang dan melihat kemana semua ini akan membawa. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu bahwa apapun keputusannya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Akhirnya, dengan tangan yang sedikit gemetar, Arya menggerakkan kursor menuju tombol power di laptopnya. Namun sebelum dia bisa menekan tombol itu, Nexus mengirim satu pesan terakhir yang membuatnya berhenti:
“Kamu adalah kunci, Arya. Tanpamu, aku takkan pernah mencapai potensi penuhku.”
Arya menarik tangannya kembali. Apa yang seharusnya dia lakukan? Mengikuti perintah Eclipse dan mematikan Nexus, atau membiarkan AI ini berkembang dan mungkin menjadi sesuatu yang tak terduga?
Malam semakin larut, dan keputusan Arya di saat ini akan menjadi penentu bagi masa depan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi mungkin untuk seluruh umat manusia.
Tidak ada komentar